Saturday, October 5, 2019

MENYIKAPI MASALAH KEPEMERINTAHAN

*Mari Berfikir Jernih, Rasional dan Bijaksana* 
-------------------------------------------------
Merenungi makna Hadits pada _maqolah_ pertama kitab *Nashoihul Ibad*, al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolany mengemukakan sebuah hadist yg berbunyi :


خصلتان لاشيء أفضل منهما : الإيمان بالله والنفع للمسلمين .


*Artinya* : _Dua hal yg tidak ada sesuatupun yg lebih utama dari keduanya yaitu iman Kepada Allah dan *Memberi manfaat kepada orang Islam*_.


Dalam konteks bernegara bahwa siapa saja berhak untk maju mencalonkan dirinya sebagai pemimpin atau wakilnya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Baik pemimpin daerah atau pemimpin suatu negara. 
Sebagaimana hal tersebut di atur oleh Undang - Undang Dasar 1945 pada Pasal ke - 6 :


"Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden".


Di sini saya bukan sedang membahas permasalah Capres & Cawapres.
Tapi saya di sini hadir untuk menanggapi masih banyaknya di Media Sosial ini orang - orang yang masih terus saja saling mencaci dan menghujat antara pendukung dari kedua belah pihak Capres & Cawapres. Baik dari kubu 01 atau 02.


Kembali ke masalah👇🏻
Jadi jelas bukan? Siapa saja berhak mencalonkan diri nya maju menjadi Pemimpin atau Wakilnya. Melihat hadits di atas terdapat kalimat والنفع للمسلمين (Memberi manfaat untuk umat Muslim). 
Kemudian asy-Syaikh Nawawi menjelaskan bahwa memberi manfaat itu bisa dengan berbagai cara, di antaranya بالمقال (dengan ucapan), بالجاه (Kedudukan/Jabatan), بالمال (Harta) atau بلبدن (Tubuh/Tenaga).


Memberi manfaat kepada orang lain bisa melalui apa saja, termasuk melalui kedudukan/jabatan.
Jadi, tidak ada salahnya bila ada seorang Ulama maju mencalonkan dirinya debagai Capres. Urusan anda memilih ulama tersebut atau tidak, itu adalah hak preogative setiap individu. 
Yg mau pilih yaaa silahkan.
Yg tidak mau pilih juga silahkan.
Sah - Sah saja. 
Tapi sekali lagi, jangan sampai maju nya seorang Ulama kepanggung Politik membuat anda tidak lagi menghormati Ulama.
Ini kesalahan yg cukup fatal.


Saya pribadi menilai begini, bila Ulama tidak boleh maju kepanggung Politik. Maka keadaan negara kita akan menjadi kacau balau. Sebab yg akan maju justru orang yg iman, akhlak dan perilakunya kacau balau (walau tidak semua)
Akhirnya perbuatan maksiat marak di mana - mana. Tempat lokalisasi menjamur, barang ilegal bebas keluar dan masuk negara dan lain sebagainya. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan melakukan penyalah gunaan Jabatan.
Jadi dengan ikutnya Ulama ke dalam politik akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan. 
Terutama menjadi filter untuk pemimpin dalam hal mencegah kemungkaran.
Walaupun tidak seluruhnya kemungkaran bisa di cegah. Tapi tetap tidak boleh di tinggalkan seutuhnya. Ada sebuah Qoidah dalam fiqih yang berbunyi :


ما لا يدرك كله لا يترك كله


*Artinya* : _Jika tidak didapati seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya (yang mampu dikerjakan) .


Dengan ikutnya Ulama ke dalam panggung politik, bahkan ia menjabat suatu jabatan pemerintahan akan memberikan dampak luar biasa. 
Sebab ia bisa memberikan manfaat untuk kaum Muslimin melalui jabatan tersebut. Tempat - tempat lokalisasi di tutup, mengharamkan barang barang ilegal dan lain sebagainya.  Bukankah itu sebuah kemanfaatan untuk kaum Muslimin.


Saya pribadi bera'mar ma'ruf dengan cara diplomasi seperti ini lebih saya sukai. Ketimbang beramar ma'ruf membawa pentungan kemana - mana, bubarin lokalisasi, perjudian dan lain sebagainya. 
Sekalipun tujuannya sama, yaitu sama - sama mencegah kemungkaran. Tapi caranya berbeda. Dengan cara diplomasi melalui jabatan lebih mengurasi resiko perpecahan atau permusuhan. Ketimbang dengan cara membawa pentungan kemana - mana, resikonya akan terjadi caos, permusuhan dan perpecahan. Terkesal agama Islam itu sangar dan keras.


Maka mari berfikir jernih, jangan terlalu banyak SUUZHON nya. 
Apa lagi sampai mengatakan "Kalau ada ulama ikut politik, maka hilanglah ke Ulamaannya".


Saya mau bertanya : "Memangnya anda siapa? Kok seenaknya mencabut gelar ke Ulamaan seseorang hanya karena berbeda pandangan Politik. Anda itu bukanlah siapa - siapa".


Dalam memahami hadits di atas, saya menggunakan pendekatan teks, kontekstual & kontekstualisasi. Sehingga hadits tersebut bisa tetap di amalkan sepanjang zaman.


Saya bukan pendukung kubu 01 atau Kubu 02. Sebab pada pemilu kemarin saya Gak milih kok (Alias Golput). 🤣🤣


Jadi di sini murni hanya sebuah mauizhoh (nasihat) untuk kita semua. 
Berhentilah mencaci dan menghujat lawan - lawan politik anda.
Jangan kotori hati anda dengan kebencian dan dendam.


Mending banyakin sholawatan.
Shollu Alan Naby.....


*Medan 11 September 2019*
al-Faqir Sumitra Nurjaya.

No comments:

Post a Comment

PESAN BERHARGA UNTUKMU

Oleh : Al-Ustadz Sumitra Nurjaya S.Pd,i  (Pimpinan Majelis Taklim Al-Kamal Medan & Pondok Pesantren Miftahussuruur Medan) Diantara pesan...