Oleh : Al-Ustadz Sumitra Nurjaya S.Pd,i
(Pimpinan Majelis Taklim Al-Kamal Medan & Pondok Pesantren Miftahussuruur Medan)
Dalam tradisi mazhab fiqih dikenal semacam hirarki dalam berfatwa. Maksudnya jika seseorang ingin mengetahui fatwa atau jawaban dari sebuah mazhab yang dianggap merepresentasikan mazhab tertentu. Maka ia harus melihat pendapat yang telah diakui kalangan mazhab tersebut, sebagai pendapat yang muktabar/mu’tamad (diakui) dalam mazhab.
Sebab faktanya, Imam Mazhab bisa saja mempunyai beberapa pandangan dalam sebuah masalah. Seperti Imam Syafi’i yang memiliki 2 pendapat. Yang lebih dikenal dengan istilah Qoul Qodim (pendapat lama) dalam Kitab Hujjah dan Qoul Jadid (pendapat baru) dalam Kitab Al-Umm.
Bahkan para Mujtahid dalam sebuah mazhab ini, kadang kala memiliki pendapat lain yang berbeda dengan pendapat Imam Mazhabnya. Seperti pendapat Imam Muzani yang dalam beberapa masalah, pendapat beliau berseberangan dengan pendapat Imam Syafi’i. Padahal Imam Muzani adalah penganut Mazhab Syafi’i.
Oleh sebab itu, Ulama Muta'akhirin berijtihad untuk mentarjih berbagai pendapat para Mujtahid dalam Mazhabnya. Hingga pendapat tersebut dianggap pendapat yang mewakili Mazhab secara keseluruhan. Atau setidaknya menjadi pendapat yang dianggap sebagai pendapat terkuat yang diakui oleh Mazhab.
Para Ulama yang menulis tentang (thabaqat al fuqaha) menyebut ulama jenis ini dengan sebutan Mujtahid Tarjih atau Mujtahid Tanqih.
A. Mujtahid Tarjih
Mujtahid adalah seseorang yang telah diakui memiliki kemampuan untuk berijtihad atau usaha untuk mengeluarkan kesimpulan hukum yang bersifat dzonni dari sebuah dalil. Tarjih adalah menguatkan sebuah pendapat atas beragam pendapat yang ada. Jadi, mujtahid tarjih adalah mujtahid yang mampu mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat dari salah satu imam-imam mujtahid, dalam sebuah mazhab atau riwayat-riwayat berbeda yang berasal dari mereka.
(Kitab Fathul Mubin Fii Hilli Rumuz wa Mushthalahatul Fuqaha’ wa Ushuliyyin, karangan Syaikh Muhammad Ibrahim Al-Hafnawi, Hal 30)
Contoh Mujtahid Tarjih yang menguatkan pendapat Imam Abu Hanifah atas pendapat shahabat-shahabatnya adalah Abu Yusuf, Zufar dan Hasan. Dan Mujtahid Tarjih dalam Mazhab Syafi’i misalnya adalah Imam An-Nawawi dan Imam Ar-Rafi'i.
Penting untuk dicatat, tarjih ini hanya berlaku dalam satu mazhab dan tidak terkait dengan mazhab lainnya. Sebab seorang muntasib (pengikut) sebuah mazhab sudah tentu akan menguatkan (mentarjih) pendapat mazhabnya meskipun bukan seorang Mujtahid Tarjih.
B. Mujtahid Tarjih dalam Mazhab Syafi’i
Diantara faktor terpenting tetap eksis dan tersebarnya sebuah mazhab fiqih adalah usaha dari para pengikut Imam Mazhab. Untuk mengkodifikasikan pendapat-pendapat Imam mereka. Hal yang sama terjadi pada Mazhab Imam Syafi’i.
Di dalam Kitab Khaza’inus Saniyyah min Masyahir Al-Kutub Al-Fiqhiyyah li A’immah Al-Fuqaha’ Asy-Syafi’iyyah, karangan Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Muthallib Mandaili Al-Indunisi, Hal 167. Beliau menyebutkan :
Bahwa pasca wafatnya Imam Syafi’i (204 H), setidaknya terdapat 5 kitab yang menjadi rujukan pengikut Mazhab Syafi’i, khususnya sebelum abad ke-7 Hijriah, yaitu :
1. Kitab Mukhtashar, karya Imam Muzani (264 H).
2. Kitab Tanbih, karya Imam Syairozi (476 H).
3. Kitab Muhazzab, karya Imam Syairozi (476 H).
4. Kitab Wasith, karya Imam Ghazali (505 H).
5. Kitab Wajiz, karya Imam Ghazali (505 H).
Imam Nawawi berkata, “Lima kitab ini merupakan kitab-kitab yang masyhur serta sering dibaca oleh kalangan Syafi’iyyah.”
Syaikh Al-Mandaili melanjutkan, "Hanya saja pasca abad ke-7 Hijriyah itu, kemasyhuran 5 kitab ink tersisihkan oleh karya-karya 2 Imam Mazhab Syafi’iyyah. Yaitu Imam Nawawi (Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf) = (676 H) dan Imam Rafi’i (Abu Qasim Abdul Karim bin Muhammad) = (623 H)".
Bahkan para Muhaqqiq Syafi’iyyah telah bersepakat bahwa kitab-kitab sebelum karya kedua imam diatas. Tidak menjadi standar pengambilan pendapat dalam mazhab. Kecuali pendapat yang disampaikan Imam Nawawi dan Imam Rafi’i untuk setiap masalah yang telah dibahas.
Namun, pendapat kedua imam tersebut dalam sebuah masalah. Tidak dapat menjadi standar pendapat Mazhab, jika Ulama Syafi’iyyah dari kalangan Muta'akhirin bersepakat bahwasannya dalam pendapat 2 imam tersebut terdapat kekeliruan. Meskipun pada dasarnya ini sangat jarang terjadi. Maka dalam kondisi ini pendapat yang Mu’tamad adalah pendapat yang diutarakan ulama-ulama Syafi’iyyah setelah masa 2 imam.
Seperti yang disepakati oleh 4 imam berikutnya, yaitu :
1. Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari (925 H) dalam Kitab Mukhtashar.
2. Imam Hafiz Ibnu Hajar Al-Haitamy (murid Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari) (973 H) dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj.
3. Syeikhotib Asy-Syarbini (977 H) dalam Kitab Mughnil Muhtaj.
4. Imam Ibnu Syihab Al-Jamal Ar-Ramli (1004 H) dalam Kitab Nihayatul Muhtaj.
Pertanyaan :
Mengapa para ulama dari kalangan Syafi’iyyah lebih mengunggulkan pendapat atau Tarjih Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, atas pendapat-pendapat Imam lainnya dalam Mazhab Syafi’iyyah?
Jawaban :
Dalam hal ini, Imam Hafiz Ibnu Hajar Al-Haitamy menjawab :
Sesungguhnya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i itu keduanya telah berusaha semampu mungkin untuk memberikan penjelasan terkait pendapat-pendapat (nash) Imam Syafi’i. Berdasarkan niat yang tulus, kejujuran, dan keikhalasan dari keduanya. Pendapat mereka berdua juga tidak akan berseberangan dengan pendapat Imam Syafi’i, kecuali atas dasar yang kuat.
Karena alasan inilah para Ulama Syafi’iyyah dan para Muhaqqiqun menaruh perhatian dan peneriman yang lebih terhadap pendapat yang dianggap shahih oleh keduanya.
Sedangkan jika dalam sebuah masalah terdapat perbedaan pendapat antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Maka dalam hal ini pendapat Imam Nawawi yang lebih didahulukan. Sedangkan jika dalam sebuah masalah tidak terdapat Tarjih dari Imam Nawawi. Dan terdapat Tarjih dari Imam Ar-Rafi’i. Maka pendapat Imam Rafi’i yang diambil.
Imam Hafiz Ibnu Hajar Al-Haitamy pernah ditanya :
“Jika terjadi perbedaan pendapat antara Imam Rafi’i dan Imam Nawawi dalam sebuah masalah. Serta tidak diketahui pendapat mana yang lebih rajih. Manakah dari kedua pendapat tersebut yang mesti diamalkan?”
Imam Hafiz Ibnu Hajar Al-Haitamy menjawab :
“Al‘ibrah atau pendapat yang diutamakan adalah apa yang dianggap shahih oleh Imam Nawawi rahimahullah wajazaahu ‘an ahli al mazhab khairan. Karena sesungguhnya beliau adalah al-hibr, al-hujjah, al-muthalli’, al-muharrir (menurut kesepakatan ulama-ulama setelahnya). Maka dalam kondisi tersebut tidak diperkenankan mengambil pendapat selain pendapat yang beliau tarjih".
(Kitab Fatawa Al-Kubra, juz 1, Hal 234)
Dalam Kitab I'anatuth Tholibin disebutkan :
أن المعتمد في المذهب للحكم والفتوى ما اتفق عليه الشيخان فما جزم به النووي فالرافعي فما رجحه الأكثر فالأعلم والأورع
Artinya : "Sesungguhnya yang dijadikan landasan atau pedoman dalam Mazhab (Asy-Syafi’i). Ketika menentukan suatu hukum dan fatwa adalah yang disepakati oleh 2 syaikh (Imam Nawawi dan Imam Rafi’i). Yang ditetapkan Imam Nawawi, yang ditetapkan oleh Imam Rafi’i, yang diunggulkan oleh Mayoritas Ulama, oleh Ulama yang paling Alim, oleh Ulama yang paling Shaleh (wira’i)".
Urutan kitab-kitab Imam Nawawi dalam menetapkan hukum sebagaimana penjelasan diatas. Bahwasannya pendapat Imam Nawawi merupakan pendapat yang umumnya diunggulkan pada setiap masalah dalam Mazhab Syafi’iyyah. Bahkan ketetapan ini merupakan sebuah konsensus dari para Ulama Syafi’iyyah.
Hanya saja, karena Imam Nawawi merupakan seorang Ulama yang sangat produktif dalam menulis dari waktu ke waktu. Hal yang lumrah kadang terjadi, jika pendapat-pendapat yang dikodifikasikan beliau kadang kala berbeda. Oleh sebab itulah, para Ulama belakangan meneliti dan menetapkan urutan kitab-kitab Imam Nawawi. Untuk dijadikan standar dalam penetapan sebuah hukum, jika terjadi ta’arudh/pertentangan antara beberapa pendapatnya. Akhirnya, para Ulama menyimpulkan bahwa jika terjadi perbedaan pendapat dalam kitab-kitab Imam Nawawi.
Maka urutannya sebagai berikut :
1. Kitab At-Tahqiq
2. Kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab
3. Kitab At-Tanqih (namun ketiga kitab di atas belum diselesaikan penulisannya oleh imam An Nawawi)
4. Kitab Raudhatuth Thalibin fi Al-Fiqh
5. Kitab Al-Minhaj (Kitab Minhajuth Thalibin fi Al-Fiqh - Kitab Mukhtashar Al-Muharrar fi Al-Fiqh)
6. Kitab Al-Fatawa (Kitab Al-Mantsurat - Kitab Al-Masa’il Al-Mantsurah)
7. Kitab Syarh Muslim (Kitab Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj)
8. Kitab Tashih Tanbih (Kitab At-Tanbih ‘ala maa fi At-Tanbih - Kitab Tashih At-Tanbih fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i)
9. Kitab Nukat At-Tanbih (Kitab At-Ta’liqah)
Referensi :
1. Kitab Fawa’idhul Madaniyyah, Hal 33-34
2. Kitab I’anatuth Thalibin, juz 3, Hal 234
3. Kitab Sullamul Muta’llim Al-Muhtaj, Hal 27
4. Kitab Fawa’idhul Makkiyyah, Hal 37
5. Kitab Tarsyih Al Mustafidin, Hal 5
والله اعلم
Dalam Sebuah Riwayat Yang Terdapat Di Kitab Mathlaul Badrin, bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa menolong/membantu Penuntut Ilmu dan Orang Berilmu, maka ia mendapat pahala seperti pahala membangun 70 Ka'bah".
Mari Meringankan Dakwah dan Para Penuntut Ilmu dengan cara Donasi
Anisah Izzati
BRI 53070102629753
FOLLOW US ON
Facebook
https://m.facebook.com/Majlis-Talim-al-Kamal-Medan-2266238913649987/
Instagram
https://www.instagram.com/mt_alkamal/?hl=id
Kalam Ustadz
https://instagram.com/alkitaabah?igshid=1s85ptebr2kne
Blog Website
https://majlistaklimalkamal.blogspot.com
Youtube
https://youtu.be/c3IT81KzLsM
Contact Person
+62812-6084-9711
No comments:
Post a Comment