Dalam sejarah Islam, juga Arab, penyanyi benar - benar menjadi profesi bersamaan dengan munculnya istilah _mukhonnatsun_ (pria yang bersikap feminim). Di akhir abad ke-tujuh Hijriyah, Thuways (w. 710) memperkenalkan ritme ke dalam musik Arab, sekaligus memelopori generasi penyanyi Islam.
(Lihat : _History Of The Arabs_, hlm 342 - 343).
Muridnya, Ibnu Suraij (w. 726) dipandang oleh sebagian kalangan sebagai salah satu dari empat penyanyi terbesar Islam, selain al-Garid, Ibnu Muhriz, dan Ma'bad. Nama terakhir ini adalah penyanyi favorit beberapa keluarga Dinasti Umayyah. Konser - konser dan pementasan musik kemudian menjadi suatu tradisi yang berlangsung di rumah - rumah istri bangsawan.
Lantas bagaimana hukumnya bila bernyanyi menjadi sebuah profesi (pekerjaan)?
Dalam fikih Syafi'iyyah, _qaul azhar_ (pendapat terunggul) banyak menyebut bernyanyi sebagai ihwal makruh, atau paling ramah adalah mubah. Imbasnya bernyanyi yang terlanjur menjadi profesi sehari - hari untuk mengais nafkah, hukumnya juga makruh atau mubah. Fee atau gaji bagi mereka juga tidak dianggap haram. Namun, pada putusan ini mereka memberi anotasi ketat, boleh hanya ketika di dalamnya tidak terkandung maksiat.
Yang perlu diperhatikan adalah betapapun menurut fikih Syafi'iyyah menghukumi makruh atau mubah terhadap profesi penyanyi, mereka tetap menggolongkan profesi ini sebagai profesi rendahan. Rendahan, karena para penyanyi dengan seringnya mereka menggelar konser dan pentas --- dianggap kurang normal akalnya (safih) dan tertolak persaksiannya di hadapan hakim.
(Lihat : _Majmu' Syarh al-Muhadzdzab_, Juz 22, hlm 216).
Sementara menurut Hanabilah (Madzhab Hanbali), memberikan perlakuan lebih berat daripada Syafi'iyyah. Dalam ruang fikih mereka, baik pekerjaan maupun upah yang diterima penyanyi adalah haram.
Yang lebih berat lagi adalah apa yang dicetuskan Hanafiyah, tidak hanya sekedar haram, akan tetapi bernyanyi memiliki imbas dosa besar.
(Lihat : _al-Bahr ar-Rahiq_, juz 18, hlm 288).
*Tulisan ini Bersumber Dari* :
Buku *Trilogi Musik, Nuansa Musik Dalam Kontruksi Fikih, Tradisi Tasawuf dan Relevansi Dakwah*, hlm 81 - 83.
*Wallahu A'lam*
No comments:
Post a Comment